Senin, 21 November 2011

Tentang Seorang Wanita Yang Ku Rindu

Di sepertiga malam itu.. 
Ketika awan hitam masih sayu..
Di langit-langit ruang pun hanya sedikit membusur cahaya lampu..
Ketika angin malam masih menelisik rongga-rongga kulitku..
Dan fajar di balik pualam malam tengah menunduk malu..
Aku mendengar dari balik pintu..
Di antara kamar-kamar yang beradu..
Nafas-nafas sesak yang diiringi tangisan pilu..
Ku pelankan langkah-langkah kaki ku..
Mengekor tiap-tiap bait doa yang menyayat kalbu..

Di samping tempat tidur adik-adikku..
Di atas sajadah usang berwarna biru..
Diantara guratan wajahnya yang telah layu..
Ku lihat sosok wanita tua yang selalu membuatku rindu..

Tampak lelah membayang pada dinding-dinding kayu..
Ku pandangi matanya yang sayu..
Dengan tangan menengadah ke langit barat yang ia tuju..
Mamanjatkan doa pada Allah Yang Maha Satu..
Menghadirkan kembali memori yang telah lalu..

Ku ingat masa-masa dulu..
Ketika aku kecil ia selalu berada didekatku..
Menjadi lakon cinta pertama kehidupanku..

Ibuku..

Hingga kini meski rambutnya telah berubah kelabu..
Meski tangannya telah gemetar ketika mengusap pipiku..
Meski suaranya mulai serak dan kaku..
Meski senja membuat wajahnya kian sendu..

Dengarlah kawanku..

Doanya masih selalu berderu..
Bersyukurlah karena masih bisa kau rasakan selalu..
Kecupan dan pelukan hangat itu..

Karena kau tau.. 
Kasih sayang seorang ibu tak kan kandas oleh waktu..
Kasih sayang yang tulus yang ia berikan untukmu..

Maka kini.. ucapkanlah satu kalimat tanpa ragu..
Bahwa.. “AKU CINTA IBU..”
^_^

Senja bersama bayang-bayang buta..


Di bawah barisan kapas putih yang berarak menghias angkasa luas.. Ditemani bisikan-bisikan kemayu angin dalam keteduhan mega menuju senja.. Aku duduk di balik jendela lebar ruang tamu flat ku di lantai tiga.. Sebentar-sebentar ku alihkan pandangan ku ke arah jalan beraspal yang dihiasi mobil-mobil sedan di sisi kanan dan kirinya.. Anak-anak ramai bermain bola di depan sebuah gedung sekolah yang di bagian atas nya terpancang gagah sebuah bendera berwarna merah putih dan hitam, bendera mesir.. Aku tersenyum.. Kembali ku tatap payung bumi berwarna biru muda dan awan yang kini sudah mulai tak putih lagi.. Warnanya agak keemasan dibias cahaya matahari yang tengah beranjak menuju tempat peraduannya.. Tersenyum menatap senja.. Melihat jalan kupu-kupu yang mengarah ke langit sana.. Ku coba menghilangkan segala galau.. Ku coba menenangkan segala risau.. Dan ku coba sedikit demi sedikit mengobati tiap luka yang pernah hadir dan masih membekas di hati ku..

Aku tersenyum.. Sambil mendengarkan lantunan ayat-ayat penuh cinta dari headphone handpone ku.. Sambil sesekali melafadzkan dzikir-dzikir pendek ketika ku ingat betapa kerdil aku di antara besarnya alam raya yang Allah ciptakan ini.. Ahhhh.. Ya Allah.. Bahkan nikmat-Mu lebih banyak daripada udara yang tiap hari masih bisa aku hirup.. Ya Allah.. Bahkan ampunan-Mu jauh lebih luas dari bentangan langit yang kini tengah aku saksikan.. Ya Allah.. Kini pipi ku mulai hangat dialiri air mata penyesalan atas dosa yang pernah aku lakukan.. Entah sampai kapan aku mampu bernapas menghirup udara di dunia ini.. Atau sampai kapan mata ku bisa melihat arakan awan di angkasa luas.. Entah sampai kapan.. Ahhh Ya Allah.. Ya Allah..

Kisah Ashabul Ukhduud (Salah satu materi ujian Qashash Qur'an)


Kisah ini telah Allah sebutkan dalam surat Al-buruj dan berikut terjemah penjelasannya dalam sebuah hadits Rasulullah SAW.

Dari Shuhaib Ar-Rumi, Rasulullah bersabda, “Ada seorang raja pada zaman sebelum kalian. Ia memiliki seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir itu telah tua, ia berkata kepada sang raja, ‘Sesungguhnya usiaku telah tua dan ajalku sudah dekat. Karena itu utuslah kepadaku seorang anak muda biar kuajarkan kepadanya sihir.’
Maka diutuslah seorang pemuda yang akhirnya belajar sihir dengan orang tersebut. Ketika dalam perjalanan menuju rumah tukang sihir dari rumah raja ia melewati rumah seorang rahib (pendeta). Pemuda tersebut mendatangi sang rahib dan mendengarkan pembicaraannya. Sang pemuda begitu kagum dengan perkataan rahib tersebut. Setiap kali ia akan ke rumah tukang sihir ia mampir terlebih dahulu ke rumah rahib, untuk berbincang-bincang.

Suatu ketika, begitu ia sampai di rumah sang tukang sihir –karena terlambat- serta merta ia dipukul. Kemudian ia mengadukan pada rahib. Sang rahib berkata, “Jika engkau ditanya sebab keterlambatanmu dan takut dipukul tukang sihir, katakan saja padanya, “Aku terlambat karena urusan keluargaku”. Dan jika kamu khawatir dengan keluargamu, maka katakanlah, “Aku terlambat karena belajar dengan tukang sihir”.
Suatu kali ia menyaksikan binatang besar yang menakutkan dan menghalangi jalan manusia, sehingga mereka tidak bisa lewat. Maka sang pemuda berkata, “Saat ini aku akan mengetahui apakah perintah tukang sihir lebih dicintai Allah ataukah perintah rahib”. Setelah itu ia mengambil batu seraya berkata, “Ya Allah, jika perintah rahib lebih engkau cintai dan ridhai daripada tukang sihir maka matikanlah binatang ini, sehingga manusia dapat melewati jalan ini”.

Lalu ia melemparkannya dan binatang itupun mati, kemudian ia pergi. Maka ia beritahukan hal itu kepada rahib. Lalu sang rahib berkata, “Wahai anakku, kini engkau telah menjadi lebih utama dari diriku, telah sampai suatu urusan sebagaimana yang aku saksikan dan kelak engkau akan diuji. Pada saat engkau diuji, ketika tu jangan tunjukkan siapa diriku dan keberadaanku”.
Selanjutnya pemuda itu bisa menyembuhkan orang buta, sopak dan segala jenis penyakit. Allah menyembuhkan mereka melalui kedua tangannya.
Alkisah ada pejabat raja yang buta. Ia mendengar tentang pemuda yang mampu mengobati berbagai penyakit. Maka ia membawa hadiah yang banyak kepadanya seraya berkata, “Sembuhkan aku dan kau boleh memiliki ini semua!”. Pemuda itu menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan orang. Yang bisa menyembuhkan adalah Allah. Jika anda beriman kepada Allah, aku akan berdoa kepadaNya, insya Allah Dia akan menyembuhkanmu”. Ia lalu beriman kepada Allah dan sembuh.

Kemudian ia datang menghadap raja dan duduk di sisinya seperti sedia kala. Sang raja bertanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” Ia menjawab, “Tuhanku!” Raja bertanya, “Apakah engkau mempunyai Tuhan selain aku?” Ia menjawab, “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”.
Sang raja terus menerus menyiksanya, sehingga akhirnya ia menunjukkan kepada seorang pemuda yang mengajarinya. Pemuda itupun didatangkan. Sang raja bertanya, “Wahai anakku, sihirmu telah mampu menyembuhkan orang buta, sopak dan berbagai penyakit lainnya”. Sang pemuda menangkis, “Aku tidak mampu menyembuhkan seorangpun. Yang menyembuhkan hanyalah Allah”.
Raja pun menyiksa pemuda tersebut tanpa henti, sehingga dengan terpaksa ia memberitahukan tentang rahib. Kemudian sang rahib didatangkan, dan raja berkata, “Kembalilah kepada ajaran agamamu semula!” Namun ia menolak. Lalu raja meminta ajudan untuk mengambil gergaji. Kemudian gergaji itu diletakkan di tengah-tengah kepalanya dan kepala rahib pun terbalah menjadi dua.
Kemudian pejabat kerajaan yang dulu buta dipanggil agar menghadap raja lalu dikatakan, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia menolak. Lalu di tengah kepalanya diletakkan gergaji dan dibelah menjadi dua.

Tiba giliran sang pemuda, kepadanya juga dikatakan, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia menolak. Lalu ia menyerahkannya kepada beberapa orang. Sang raja berkata, “Bawalah ia ke gunung ini dan itu, sesampainya kalian di puncak gunung kalau ia mau kembali kepada agamanya semula, maka lepaskanlah tetapi jika tidak maka lemparkan ke dalam jurang”.
Mereka pun berangkat dengan membawa pemuda tersebut, ketika sampai di ketinggian gunung, sang pemuda berdoa, “Ya Allah, jagalah diriku dari tipu daya mereka, sesuai dengan kehendakMu”.
Tiba-tiba gunung itu mengguncang mereka, sehingga mereka tergelincir dan selamatlah sang pemuda hingga kemudian ia pergi menemui raja. Raja bertanya, “Apa yang terjadi dengan kawan-kawanmu?” Pemuda itu menjawab, “Allah menjagaku dari mereka”.

Sang raja kembali mengirimnya dengan beberapa pengawal dalam sebuah perahu kecil. Raja berkata, “Jika kalian berada di tengah lautan, biarkan dia jika mau kembali kepada agama semula, jika tidak, lemparkan ia ke dalam lautan”.
Kemudian mereka berangkat, dan sesampainya di laut sang pemuda berdoa, “Ya Allah, jagalah diriku dari tipu daya mereka, sesuai dengan kehendakMu”.
Perahu pun terbalik dan mereka semua tenggelam, sementara sang pemuda dapat datang lagi menghadap raja. Sang raja heran dan bertanya, “Apa yang terjadi dengan kawan-kawanmu?” Pemuda itu menjawab, “Allah menjagaku dari mereka”.
Lalu sang pemuda berkata, “Wahai raja, engkau tidak akan bisa membunuhku sehingga engkau melakukan apa yang kuperintahkan”. Raja penasaran, “Apa perintahmu?” Sang pemuda menjawab, “Kumpulkanlah orang-orang di satu padang yang luas, lalu saliblah aku pada sebatang pohon. Setelah itu ambillah anak panah dari sarung panahku, dan letakkan di dadaku lalu ucapkan Bismillahi Birabbil Ghulam (dengan nama Allah Tuhan sang pemuda), dan panahlah aku. Jika engkau berkenan melaksanakan perintahku berarti engkau berhasil membunuhku”.

Maka raja mengumpulkan orang-orang di sebuah padang yang luas, dan menyalibnya pada sebatang pohon, dan mangambil panah dari sarung panahnya, kemudian meletakkannya di dadanya lalu mengucapkan, “Bismillahi Birabbil Ghulam” kemudian memanahnya tepat mengenai pelipisnya. Pemuda itu meletakkan tangannya di bagian yang terkena panah lalu meninggal.
Menyaksikan tragedi ini maka orang-orang berkata, “Amanna Birabbil Ghulam” (Kami beriman kepada Tuhan sang pemuda).

Lalu seseorang datang menghadap raja dan berkata, “Tahukah anda, sesuatu yang saat ini anda takutkan? Kini sesuatu yang sangat engkau takutkan itu telah tiba, semua orang telah beriman!”
Kemudian raja memerintahkan untuk membuat parit-parit (ukhdud) di beberapa persimpangan jalan, kemudian dinyalakan api di dalamnya. Sang raja bertitah, “Siapa yang menolak kembali kepada agamanya semula bakarlah atau lemparkanlah ke dalam parit!”
Para ajudan pun melaksanakan perintah raja. Hingga kemudian tiba giliran seorang wanita bersama bayi yang sedang disusuinya. Sepertinya ibu tersebut enggan untuk terjun ke dalam bara api. Tiba-tiba saja sang bayi berkata, “Bersabarlah, wahai ibuku. Sesungguhnya engkau berada dalam jalan yang benar”.
SUBHANALLAH..

Kisah Taubatnya Ka'ab Bin Malik.. Subhanallah.. Buah Nikmat dari Kejujuran..


Dari Ibnu Syihab, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik, diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ka’ab bin Malik -dia adalah penuntun Ka’ab dari anak-anaknya saat Ka’ab menjadi buta- berkata: “Saya mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisahnya saat tidak ikut dalam perang Tabuk.

Ka’ab bercerita, ‘Saya tidak pernah absen dalam peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam kecuali perang Tabuk. Hanya saja, saya juga tidak ikut dalam perang Badar, tapi Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menegur orang-orang yang absen saat itu. Sebab Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam -saat itu- hanya ke luar untuk mencegat kafilah onta yang membawa dagangan kaum Quraisy. Dan tanpa ada rencana sebelumnya, ternyata Allah Ta`ala mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka. Tapi saya pernah ikut bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam pada malam (Baiatul) Aqabah, saat itu kami mengadakan janji setia terhadap Islam. Dan peristiwa ini lebih saya senangi ketimbang peristiwa perang Badar, walaupun perang Badar itu lebih sering dikenang oleh banyak orang!’

Sehubungan dengan perang Tabuk, ceritanya begini. Saya tidak pernah merasa lebih kuat secara fisik dan lebih mudah secara ekonomi ketimbang saat saya absen dalam perang itu. Demi Allah, saya tidak pernah punya dua kendaraan (kuda), tetapi ternyata saat perang itu saya bisa mempunyai dua kendaraan. Sebelum Tabuk, bila Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam mengajak para sahabat untuk perang, biasanya beliau selalu tidak menerangkan segala sesuatunya dengan jelas dan terang-terangan. Tetapi dalam perang ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallamberterus terang kepada para sahabat. Sebab, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam akan melangsungkan peperangan ini dalam kondisi cuaca yang sangat panas. Beliau akan menempuh perjalanan yang jauh, melalui padang pasir yang begitu luas. Dan beliau juga akan menghadapi musuh dalam jumlah besar. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallammenjelaskan semua ini pada para sahabat. Saat itu, jumlah kaum muslimin memang banyak. Tidak ada catatan yang menyebutkan nama-nama mereka secara lengkap.’ Ka’ab berkata, ‘Dari saking banyaknya, sampai-sampai tak ada seorang pun yang ingin absen saat itu kecuali dia menyangka tidak akan diketahui selagi wahyu tidak turun dalam hal ini.

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melangsungkan perang Tabuk itu di saat buah-buahan dan pohon-pohon yang rindang tumbuh dengan suburnya. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kaum muslimin telah bersiap-siap, hampir saja saya berangkat dan bersiap-siap dengan mereka. Tapi ternyata saya pulang dan tidak mempersiapkan apa-apa. Saya berkata dalam hati, ‘Saya bisa bersiap-siap nanti.’ Begitulah, diulur-ulur, sampai akhirnya semua orang sudah benar-benar siap. Di pagi hari, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah berkumpul bersama kaum muslimin untuk berangkat. Tetapi saya tetap belum mempersiapkan apa-apa. Saya berkata, ‘Saya akan bersiap-siap sehari atau dua hari lagi, kemudian saya akan menyusul mereka setelah mereka berangkat.’ Saya ingin bersiap-siap, tapi ternyata saya pulang dan tidak mempersiapkan apa-apa. Begitulah setiap hari, sampai akhirnya pasukan kaum muslimin benar-benar sudah jauh dan perang dimulai. Saat itu saya ingin berangkat untuk menyusul mereka, tapi sayang, saya tidak melakukannya. Saya tidak ditakdirkan untuk berangkat.
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kaum muslimin keluar dari kota Madinah, aku keluar dan berputar-putar melihat orang-orang yang ada. Dan yang menyedihkan, yaitu bahwa saya tidak melihat kecuali yang dicurigai sebagai munafik atau orang lemah yang memang mendapat keringanan dari Allah Ta`ala. Sementara itu, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menyebut-nyebut saya sampai beliau tiba di Tabuk. Di sana, beliau duduk-duduk bersama para sahabat dan bertanya, ‘Apa yang diperbuat Ka’ab?’ Ada seseorang dari Bani Salamah yang menyahut, ‘Ya Rasulullah, dia itu tertahan oleh pakaiannya dan bangga dengan diri dan penampilannya sendiri.’ Mendengar itu Muadz bin Jabal berkata, ‘Alangkah jeleknya apa yang kamu katakan. Demi Allah ya Rasulullah, kami tidak mengetahui dari Ka’ab itu kecuali kebaikan.’ Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam diam.’
Ka’ab melanjutkan ceritanya, ‘Ketika saya mendengar bahwa beliau bersama pasukan kaum muslimin menuju kota Madinah kembali, saya mulai dihinggapi perasaan gundah. Saya pun mulai berfikir untuk berdusta, saya berkata, ‘Bagaimana saya bisa bersiasat dari kemarahan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam besok?’
Untuk itu, saya minta bantuan saran dari keluarga saya. Setelah ada informasi bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sudah mulai masuk kota Madinah, hilanglah semua kebatilan yang sebelumnya ingin saya utarakan.

Saya tahu, bahwa tidak mungkin saya bisa bersiasat dari kemarahan beliau dengan berdusta. Ketika Rasulullahshallallahu `alaihi wasallam telah tiba, dan biasanya bila beliau tiba dari suatu perjalanan, pertama kali beliau masuk ke masjid, lalu shalat dua rakaat, kemudian duduk-duduk menemui orang-orang yang datang.
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam duduk, berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut berperang menemui beliau. Mereka mengajukan berbagai macam alasan diikuti dengan sumpah -jumlah mereka lebih dari 80 orang- Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menerima mereka secara lahir dan membai’at mereka serta memintakan ampunan. Adapun rahasia-rahasia hati, semuanya beliau pasrahkan kepada Allah Ta`ala.
Saya pun datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Beliau tersenyum sinis, kemudian berkata, ‘Kemarilah!’ Saya berjalan sampai duduk di hadapan beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu tidak ikut serta? Tidakkah kau sudah membeli kendaraanmu?’ Saya jawab, ‘Ya benar. Demi Allah, sekiranya aku sekarang duduk di hadapan orang selain engkau dari seluruh penduduk dunia ini, tentu aku bisa selamat dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan tertentu. Aku telah dikaruniai kepandaian berdiplomasi. Akan tetapi, demi Allah, aku yakin, kalau hari ini aku berdusta kepada engkau dan engkau rela menerima alasanku, niscaya Allah akan menanamkan kemarahan diri engkau kepadaku. Dan bila aku berbicara jujur kepada engkau, maka engkau akan menjadi marah karenanya. Sesungguhnya aku mengharapkan pengampunan dari Allah Ta`ala. Tidak, demi Allah, sama sekali saya tidak mempunyai alasan apa pun secara fisik dan lebih lapang secara ekonomi daripada saat aku tidak ikut serta dengan engkau.’(Maksudnya dalam perang Tabuk. (Pen)) Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berkata, ‘Orang ini telah berkata jujur, bangun dan pergilah sampai Allah Ta`ala memberikan keputusan dalam masalahmu ini!’ Saya pun berdiri dan pergi. Saat itu orang-orang dari Bani Salamah mengikutiku, mereka berkata, ‘Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui bahwa engkau pernah berbuat kesalahan sebelum ini. Mengapa engkau tidak mengajukan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam alasan-alasan seperti yang dilakukan orang lain yang juga tidak ikut? Dan dosamu nanti akan hilang denganistighfar (permintaan ampun) Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam untukmu.’ Mereka terus menerus mencerca saya sampai-sampai saya sempat berfikir untuk kembali kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan meralat pembicaraan saya yang pertama. Kemudian saya bertanya pada mereka, ‘Adakah orang yang mendapatkan perlakuan sama denganku?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ada dua orang lagi yang mengatakan seperti apa yang kau katakan dan mendapatkan jawaban seperti jawaban yang kau terima.’ Saya bertanya lagi, ‘Siapa mereka?’ Mereka menjawab, ‘Murarah bin Ar-Rabi’ Al-Amry dan Hilal bin Umayyah Al-Waqify.’ Mereka menyebutkan nama dua orang yang pernah ikut perang Badar dan mereka bisa dijadikan panutan. Setelah mendengar dua nama yang mereka sebutkan itu saya terus pergi.
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam lalu melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga di antara orang-orang yang tidak ikut bersama beliau. Akibatnya, orang-orang semua meninggalkan kami dan sikap mereka pun berubah, bahkan dunia ini pun seolah juga berubah, tidak sama dengan dunia yang saya kenal sebelumnya.

Kami merasakan hal demikian selama 50 hari. Selama itu, dua teman senasib saya hanya berdiam diri dan duduk di rumah masing-masing sambil menangis. Berbeda dengan saya, saya termasuk yang paling muda dan paling kuat menahan ujian ini. Saya pergi keluar dan ikut shalat berjamaah, tetapi tidak ada satu pun yang mau berbicara dengan saya. Saya datangi Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan saya ucapkan salam kepada beliau saat berada di tempat duduknya seusai shalat. Saya berkata dalam hati, ‘Adakah Rasulullah menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?!’ Kemudian saya shalat di dekat beliau, saya mencuri pandangan. Saat saya sedang shalat, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melihat kepada saya. Tapi bila saya menoleh kepadanya, beliau berpaling dari saya. Setelah cukup lama orang-orang meninggalkan saya, suatu saat saya pergi memanjat dinding kebun Abu Qatadah -dia adalah sepupu saya dan termasuk orang yang paling saya cintai-. Saya mengucapkan salam kepadanya, tetapi -demi Allah- dia tidak menjawab salam saya. Saya berkata, ‘Wahai Abu Qatadah! Demi Allah aku bertanya, adakah engkau tahu bahwa aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya?’ Dia diam saja. Saya kembali bertanya tapi dia tetap diam. Saya bertanya sekali lagi, akhirnya dia juga menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya sendiri yang lebih tahu.’ Air mata saya berlinang dan saya kembali memanjat dinding itu lagi.

Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang bangsawan dari Syam. Dia termasuk para pedagang yang datang membawa makanan untuk dijual di Madinah. Dia berkata, ‘Siapa yang dapat menunjukkan di mana Ka’ab bin Malik?’
Orang-orang yang ada di situ menunjukkannya. Setelah dia mendatangi saya, dia menyerahkan pada saya sebuah surat dari Raja Ghassan. Dalam surat itu tertulis, ‘Aku telah mendengar bahwa kawanmu (yaitu Nabi Muhammad) telah meninggalkanmu, sementara engkau tidaklah dijadikan oleh Allah berada pada derajat yang hina dan terbuang. Datanglah kepada kami, kami akan menghiburmu.’ Setelah membaca surat itu saya bergumam, ‘Ini termasuk rangkaian ujian Allah.’ Lalu saya bawa surat itu ke tungku dan membakarnya.

Setelah berlalu 40 hari dari total 50 hari, utusan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam datang kepada saya. Katanya, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah menyuruhmu untuk menjauhi isterimu!’ Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?’, dia menjawab, ‘Tidak, jauhilah dia dan janganlah kau mendekatinya’. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam juga mengirimkan utusan beliau kepada dua rekan senasib saya. Maka saya meminta pada isteri saya, ‘Pergilah kau ke tempat keluargamu. Menetaplah di sana sampai AllahTa`ala memutuskan masalah ini!’
Ka’ab berkata, ‘Isteri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah itu sudah tua renta, dan dia tidak mempunyai pembantu. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?’ Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menjawab, ‘Tidak, tetapi jangan sampai dia mendekatimu!’ Isterinya menjawab, ‘Demi Allah, dia sudah tidak bisa bergerak lagi dan dia masih tetap menangis sejak dia mempunyai masalah ini sampai hari ini juga.’ Sementara itu sebagian keluarga saya berkata, ‘Bagaimana sekiranya engkau juga minta izin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dalam masalah isterimu, agar dia bisa melayanimu seperti isteri Hilal bin Umayyah.’ Tetapi saya menjawab, ‘Demi Allah, dalam masalah ini aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bila aku minta izin kepada beliau, sementara aku ini masih muda?!’

Saya berada dalam kondisi demikian selama sepuluh malam, sehingga jumlahnya 50 malam dari mulai pertama kali Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melarang orang untuk berbicara pada kami. Pada hari yang ke-50, saya menghadiri shalat Shubuh, setelah itu saya duduk-duduk, sementara kondisi saya persis seperti yang digambarkan oleh Allah Ta`ala, diri sendiri terasa sempit, begitu juga bumi yang luas ini terasa sempit bagi saya. Saat saya duduk dalam keadaan demikian, tiba-tiba saya mendengar suara orang yang berteriak dengan lantang di atas bukit, ‘Wahai Ka’ab, bergembiralah!’ Saat itu juga saya langsung sujud, saya tahu bahwa masalah saya akan berakhir. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam mengumumkan datangnya taubat (pengampunan) Allah atas kami bertiga saat beliau selesai shalat Shubuh. Banyak orang pergi menemui kami untuk menyampaikan kabar gembira. Sebagian mereka ada yang menemui dua kawan senasib saya, dan ada seseorang yang ingin menemui saya dengan berkuda. Sementara itu ada seorang Bani Aslam yang hanya berjalan kaki, lalu dia naik ke bukit dan meneriakkan kabar gembira pada saya. Ternyata suara itu lebih cepat dari pada kuda. Setelah orang yang naik ke bukit itu datang menemui saya untuk menyampaikan langsung, saya tanggalkan pakaian saya dan saya hadiahkan untuknya sebagai imbalan atas kabar gembiranya. Demi Allah, sebenarnya saya ini tidak mempunyai baju lagi selain itu. Akhirnya saya meminjam baju orang, kemudian berangkat menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Orang-orang datang berduyun-duyun mengucapkan selamat atas kabar gembira ini. Mereka mengatakan, ‘Selamat atas pengampunan Allah untukmu!’ Setelah itu saya masuk ke dalam masjid, di situ terlihat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sedang duduk di kelilingi banyak orang. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah bangun dan menuju ke arah saya dengan setengah lari. Dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat. Tidak ada seorang pun dari kaum Muhajirin yang bangun selain dia, dan saya tidak akan melupakannya.
Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, beliau berkata -dengan wajah bersinar penuh kegembiraan-, ‘Bergembiralah dengan datangnya sebuah hari yang paling baik yang pernah engkau lalui semenjak kau dilahirkan oleh ibumu.’ ‘Dari engkau atau dari Allah, ya Rasulullah?’ tanya saya. Beliau menjawab, ‘Bukan dariku, tapi dari Allah.’ Dan demikianlah, bila Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sedang gembira, wajah beliau bersinar seperti bulan. Kami semua tahu hal itu. Setelah aku duduk tepat di hadapan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebagai pertanda taubat ini, aku akan melepas semua hartaku dan menjadikannya sebagai shadaqah untuk Allah dan Rasul-Nya.’ Rasulullah menjawab, ‘Ambillah sebagian dari hartamu, ini lebih baik untukmu.’ Saya berkata, ‘Ya, aku akan mengambil jatahku yang aku dapatkan dari perang Khaibar.’ Setelah itu saya ungkapkan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya AllahTa`ala telah menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sebagai pertanda taubatku kepada Allah, aku berjanji bahwa aku akan selalu berkata jujur selama hidupku. Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang muslim yang diuji oleh Allah dalam kejujuran kata-katanya melebihi ujian yang aku dapatkan.’
Dan sejak aku ungkapkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, saya tidak pernah berdusta sampai hari ini. Saya memohon semoga Allah tetap menjaga saya selama sisa hidup saya. Dan Allah Ta`ala menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan. Setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allahlah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 117-119).
Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah Allah karuniakan kepada saya -setelah nikmat hidayah Islam- yang lebih besar dari nikmat kejujuran saya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Saya tidak ingin berdusta tapi kemudian binasa seperti binasanya orang-orang yang telah berdusta. Dan Allah Ta`ala telah memberikan komentar tentang orang-orang yang berdusta -di dalam wahyu yang diturunkan-Nya- dengan kata-kata yang sangat keras dan jelek.
Allah Ta`ala berfirman,
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka itu berpalinglah dari mereka, karena mereka itu adalah najis dan tempat mereka adalah Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu rela kepada mereka. Tetapi, jika sekiranya kamu rela kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rela kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 95-96).
Ka’ab berkata,
“Kami bertiga tidak memperhatikan lagi orang-orang yang diterima alasan mereka setelah bersumpah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, kemudian beliau menyumpah mereka dan memintakan ampun buat mereka, sementara itu beliau menangguhkan urusan kami sampai Allah sendiri yang memutuskan. Oleh karena itu Alah Ta`alamenyatakan,
وَعَلَى الثَّلَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ.
”(Dan Allah juga telah menerima taubat) tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka.
Yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah tidak ikut sertanya kami bertiga dalam perang, tetapi yang dimaksud adalah ditangguhkannya taubat kami serta tidak diikutsertakannya kami pada kelompok orang-orang yang telah bersumpah dan mengemukakan alasan dan diterima oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam.”

Kisah ini di ambil dari salah satu materi dalam ujian Qashash Qur'an.. Kisah yang sangat mengharukan :'(
Subhanallah.. Masih adakah manusia yang memiliki kejujuran seperti Ka'ab Bin Malik pada masa sekarang ini??  

Haditsatul Ifki (Berita bohong yang tersebar mengenai istri Rasulullah SAW, Aisyah RA)


Berikut penggalan kisahnya dari riwayat yang tertera di dalam Kitab As-sunnah dan Nash Imam Muslim diriwayatkan dari Zuhri (ia berkata) : "Sa'id Ibnu Musayyab, 'Urwah bin Zubair, 'Alqamah bin Waqosh, 'Ubidillah bin 'Uthbah bin Mas'ud telah mengabarkan kepadaku tentang hadits Aisyah Ummul Mu'minin RA mengenai orang-orang yang menyebarkan berita bohong kemudian Allah SWT membebaskannya dari perkataan bohong mereka."

Kisah ini terjadi saat kaum muslimin berada dalam perjalanan pulang dari perang Bani Mustahliq, tersebar berita bohong yang bertujuan merusak keluarga Nabi SAW.

Aisyah RA meriwayatkan bahwa dalam perjalanan ini ia ikut keluar bersama Rasulullah SAW. Aisyah ra berkata: “Setelah selesai dari peperangan ini Rasulullah saw bergegas pulang dan memerintahkan orang-orang agar segera berangkat di malam hari. Di saat semua orang sedang berkemas-kemas hendak berangkat, aku keluar untuk membuang hajat, aku terus kembali hendak bergabung dengan rombongan. Pada saat itu kuraba-raba kalung leherku, ternyata sudah tak ada lagi. Aku lalu kembali lagi ke tempat aku membuang hajatku tadi untuk mencari-cari kalung hingga dapat kutemukan kembali.
Di saat aku sedang mencari-cari kalung, datanglah orang-orang yang bertugas melayani unta tungganganku. Mereka sudah siap segala-galanya. Mereka menduga aku berada di dalam haudaj (rumah kecil terpasang di atas punggung unta) sebagaimana dalam perjalanan. Mereka kemudian mengangkatnya dan diikatkan pada punggung unta. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa aku tidak berada di dalam haudaj. Karena itu mereka segera memegang tali kekang unta lalu mulai berangkat.
Ketika aku kembali ke tempat perkemahan, tidak aku jumpai seorang pun yang masih tinggal. Semuanya telah berangkat. Dengan berselimut jilbab aku berbaring di tempat itu. Aku berfikir, pada saat mereka mencari-cari aku tentu mereka akan kembali lagi ke tempatku. Demi Allah, di saat aku sedang berbaring, tiba-tiba Shafwan bin Mu‘atthal lewat. Agaknya ia bertugas di belakang pasukan. Dari kejauhan ia melihat bayang-bayangku. Ia mendekat lalu berdiri di depanku, ia sudah mengenal dan melihatku sebelum kaum wanita dikenakan wajib berhijab.
Ketika melihatku ia berucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un! Istri Rasulullah?“ Aku pun terbangun oleh ucapan itu. Aku tetap menutup diriku dengan jilbabku. Demi Allah, kami tidak mengucapkan satu kalimat pun dan aku tidak mendengar ucapan darinya kecuali ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un itu. Kemudian dia merendahkan untanya lalu aku menaikinya. Ia berangkat menuntun unta kendaraan yang aku naiki sampai kami datang di Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat. Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang diriku. Fitnah ini berumber dari mulut Abdullah bin Ubay bin Salul.

Aisyah ra melanjutkan : Setibanya di Madinah kesehatanku terganggu selama sebulan. Saat itu rupanya orang-orang sudah banyak berdesas-desus berita bohong itu, sementara aku belum mendengar sesuatu mengenainya. Hanya saja aku tidak melihat kelembutan dari Rasulullah saw, yang biasa kurasakan ketika aku sakit. Beliau hanya masuk lalu mengucapkan salam dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?“
Setelah agak sehat aku keluar pada suatu malam bersama Ummu Mastha untuk membuang hajat. Waktu itu kami belum membuat kakus.
Di saat kami pulang, tiba-tiba kaki Ummu Mastha tersandung sehingga kesakitan dan terlontar ucapan dari mulutnya: “Celaka si Masthah! (anak ummu masthah)“ Ia kutegur: “Alangkah buruknya ucapanmu itu mengenai seorang dari kaum Muhajirin yang turut serta dalam perang Badr?“ Ummu Mastha bertanya :“Apakah anda tidak mendengar apa yang dikatakannya?“ Aisyah ra melanjutkan: Ia kemudian menceritakan kepadaku tentang berita bohong yang tersiar sehingga sakitku bertambah parah. Malam itu aku menangis hingga pagi hari, air mataku terus menetes dan aku tidak dapat tidur.
Kemudian Rasulullah saw mulai meminta pandangan para sahabatnya mengenai masalah ini. Di antara mereka ada yang berkata: “Wahai Rasulullah mereka (para istri Nabi) adalah keluargamu. Kami tidak mengetahui kecuali kebaikan.“ Dan ada pula yang mengatakan: “Engkau tak perlu bersedih, masih banyak wanita (lainnya). Tanyakan hal itu kepada pelayan perempuan (maksudnya Barirah). Ia pasti memberi keterangan yang benar kepada anda!“
Rasulullah saw lalu memanggil pelayan perempuan bernama Barirah, dan bertanya: “Apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan dari Aisyah?“ Ia mengabarkan kepada Nabi saw, bahwa ia tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang yang baik-baik. Kemudian Nabi saw berdiri di atas mimbar dan bersabda:
“Wahai kaum Muslimin! Siapa yang akan membelaku dari seorang lelaki yang telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui dari keluargaku kecuali yang baik. Sesungguhnya mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang aku tidak mengenal lelaki itu kecuali sebagai orang yang baik.“
Sa‘ad bin Muadz lalu berdiri seraya berkata: “Aku yang akan membelamu dari orang itu wahai Rasulullah saw! Jika dia dari suku Aus, kami siap penggal lehernya. Jika dia dari saudara kami suku Khazraj maka perintahkanlah kami, kami pasti akan melakukannya.“ Maka timbullah keributan di masjid sampai Rasulullah saw meredakan mereka.

Aisyah ra melanjutkan: “Kemudian Rasulullah saw datang ke rumahku. Saat itu ayah-ibuku berada di rumah. Ayah-ibuku menyangka bahwa tangisku telah menghancurluluhkan hatiku. Sejak tersiar berita bohong itu Nabi saw tidak pernah duduk di sisiku. Selama sebulan beliau tidak mendapatkan wahyu tentang diriku. Aisyah ra berkata: “Ketika duduk Nabi saw membaca puji syukur ke Hadirat Allah swt lalu bersabda: “Hai Aisyah, aku telah mendengar mengenai apa yang dibicarakan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah swt, pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah ampunan kepada Allah swt dan taubatlah kepada-Nya.“ Seusai Rasulullah saw mengucapkan ucapan itu, tanpa kurasakan air mataku tambah bercucuran. Kemudian aku katakan kepada ayahku: “Berilah jawaban kepada Rasulullah saw mengenai diriku“ Ayahku menjawab: “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.“ Aku katakan pula kepada ibuku: “Berilah jawaban mengenai diriku.“ Dia pun menjawab: “Demi Allah aku tidak tahu bagaimana harus menjawab:“ Lalu aku berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kalian telah mendengar hal itu sehingga kalian telah membenarkannya. Jika aku katakan kepada kalian bahwa aku tidak bersalah Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah kalian pasti tidak akan membenarkannya. Jika aku mengakuinya Allah Maha Mengetahui bahwa aku tidak bersalah, pasti kalian akan membenarkan aku. Demi Allah aku tidak menemukan perumpamaan untuk diriku dan kalian kecuali sebagaimana yang dikatkaan oleh bapak Nabi Yusuf as :“Sebaiknya aku bersabar. Kepada Allah swt sajalah aku mohon pertolongan atas apa yang kalian lukiskan,“ QS Yusuf : 18

Aisyah ra berkata : Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku.
Selanjutnya Aisyah berkata: Demi Allah, Rasulullah saw belum bergerak dari tempat duduknya, juga belum ada seorang pun dari penghuni rumah yang keluar sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Beliau tampak lemah lunglai seperti biasanya tiap hendak menerima wahyu Ilahi, keringatnya bercucuran karena beratnya wahyu yang diturunkan kepadanya.
Aisyah berkata: Kemudian keringat mulai berkurang dari badan Rasulullah saw lalu beliau tampak tersenyum. Ucapan yang pertama kali terdengar ialah: “Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membebaskan kamu.“ Kemudian ibuku berkata: “Berdirilah (berterimahkasihlah) kepadanya.“ Aku jawab :
“Tidak! Demi Allah, aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya (Nabi saw) dan aku tidak akan memuji kecuali Allah. Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku.“

Aisyah ra berkata: Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (sampai akhir ayat 21)" QS an-Nur : 11-21

Aisyah melanjutkan: Sebelum peristiwa ini ayahku membiayai Mastha karena kekerabatan dan kemiskinannya. Tetapi setelah peristiwa ini ayahku berkata: Demi Allah, saya tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkan kepada Aisyah. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya). Orang –orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS An-Nur : 22
Lalu Abu Bakar berkata : "Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan ampun Allah. Kemudian ia kembali membiayai Masthah."

Berbagi Rindu


Bismillah wal-hamdulillah was-shalaatu was-salaamu 'ala Rasulillah..

Kawan, sudah setahun lebih kita hidup masing2, tersebar di bumi-Nya untuk melanjutkan hakikat kehidupan.. 
Berjalan di atas taqdir-Nya, menyemai segala mimpi & kerja keras untuk menuai harapan menjadi apa yg kita inginkan.. 


Kawan, malam ini, entah kenapa rindu ini menjadi rindu yg tak biasa.. 
Rindu yg menghadirkan air mata saat berputar semua memori bersama Qawskauza.. 
Waktu setahun ternyata betul2 terasa, tak mudah lewat begitu saja.. 
Malam ini semua memori serta bayangan masa2 bersama qawskauza terasa begitu nyata walau kenyataannya hanya sebatas slide2 tak bernyawa.. 
Memori itu berputar, menghadirkan kembali saat2 menghabiskan hari yg amat berharga di pondok bersama kalian, dalam tawa maupun air mata.. Semua moment dan acara2 apa pun menjadi sangat berharga di pondok tercinta karena kehadiran kalian di sana..


Kawan, rasa2nya seribu terima kasih pun masih tak cukup ku ungkapkan, untuk kalian yg selalu mampu meneguhkan langkah kaki ini di jalan-Nya. Menopang segala keluh kesah, mengobati saat lara, berbagi hati dalam suka dan duka. Walau aku belum mampu memberikan kontribusi apa2 untuk marhalah ini (semoga tak ada kata terlambat untuk ku dpt berkontribusi), akan selalu ada doa yg aku titipkan kepada Sang pemilik taqdir kehidupan. Agar semua dapat berjalan di atas kesuksesan sesuai dgn poros yg telah Allah, Rasulullah serta guru2 kita ajarkan. Semoga apa2 yg telah kita dapatkan di pondok menjadi bekal yg sangat berguna ketika kita melanjutkan perjuangan di bumi-Nya.
Sungguh bekal itu sangat mahal dan berharga. Bekal yg jarang dimiliki kebanyakan orang di zaman yg mendekati hari akhir ini. Zaman dimana jiwa mayoritas orang tengah kekeringan ruh iman.

Kita harus bersyukur, karena Allah telah memberi kesempatan utk bisa mengecap pendidikan di pondok tercinta. Pendidikan berharga yg mampu menjadi penopang jiwa ketika kita harus menghadapi segala tantangan hidup. Semoga segala pelajaran berharga itu terus hadir dalam diri kita dan menjadi bekal berharga dalam ruhaniah kita.

Aku berdoa, semoga kita tidak hanya bisa merasakan moment haflatul ikhtitam di pondok atau kelak di bangku kampus saja, tetapi haflatul ikhtitam yg berakhir husnul khatimah kelak di syurga-Nya.. 

Doaku juga, semoga aku kembali dipertemukan dgn jiwa2 seindah pelangi, yg memberikan warna-warni tersendiri di atas kanvas sejarah kehidupan ini..
Kalianlah pelangi2 yg indah, jiwa2 penuh semangat yg selalu bersinar di bumi-Nya, Qawskauza, sesuai namanya.. :)


 I Love U All Cz Allah ♥


Why Women Cry?


A little boy asked his mother, "Why are you crying?"

"Because I need to" she said.

"I don't understand," he said.

His mother just hugged him and said, "And you never will."

Later the little boy asked his father, "Why does mother seem to cry for no reason?"

"All women cry for no reason," his dad answered carelessly.

The little boy, still wondering why women cry, finally asked the old wise shaikh (scholar). "He surely knows the answer", he thought.

"Ya Shaikh! Why do women cry so easily?"

The Shaikh answered:
"When Allah made the woman she had to be special. He made her shoulders strong enough to carry the weight of the world, yet gentle enough to give comfort.

He gave an inner strength to endure both childbirth and the rejection that many times comes from her children.

He gave her a toughness that allows her to keep going when everyone else gives up, and take care of her family through sickness and fatigue without complaining.

He gave her the sensitivity to love her children under any and all circumstances, even when her child hurts her badly.

He gave her strength to carry her husband through his faults and fashioned her from his rib to protect his heart.

He gave her wisdom to know that a good husband never hurts his wife, but sometimes tests her strengths and her resolve to stand beside him unfalteringly.

And lastly, He gave her a tear. This is hers and only hers exclusively to use whenever she needs it. She needs no reason, no explanation, its hers.

You see my son, the beauty of a woman is not in the clothes she wears, the beauty of her face, or the way she combs her hair. The beauty of a woman must be seen in her eyes, because that is the doorway to her heart - the place where love resides."

Subhnallah walhamdulillaahi 'alaa kulli haalin wa ni'mah..

-www.zawaj.com-